Bila Qiyadah Tak Ditaati, Belajar dari Umar
By: Nandang Burhanudin
Penggalan kisah Khulafaur Rasyidin selalu menakjubkan. Sayangnya kita selalu pilah-pilih disesuaikan keadaan. Jika kisah 'ajibah bertolakbelakang. Tetiba hati meradang. Namun jika sesuai keinginan, kisah apapun dihadirkan.
Alkisah suatu waktu Khalifah Umar bin Khatthab menyampaikan ceramah di depan rakyatnya. “Allah Ta’ala memerintahkan pada kalian untuk sam'an watha'atan (mendengar dan taat) kepada pemimpin,” tegas Umar mengawali taujihnya.
Tetiba seorang pria berdiri dan berteriak lantang; “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu!"
Jamaah yang hadir nampak tegang. "Betapa lancang menghentikan seorang Khalifah!", pikir mereka. Semua tahu. Sosok Umar sebelum tercelup tarbiyyah Rasul adalah seorang temperamental. Islam telah mengubahnya. Umar bin Khattab tidak marah. Pun tidak menuduh kurang ajar atau 'inad (membangkang). Umar memilih menjadi pendengar yang baik, mendalami alasannya.
“Apa sebabnya tidak mau mendengar dan tidak mau taat?”
"Anda pernah membagikan ghanimah kepada kami masing-masing satu pakaian. Nah, mengapa engkau mengenakan dua pakaian baru?”
"Jlebb...Plak...Duar...." bagi sebagian orang yang di posisi pemimpin, amir, qiyadah, ibarat tamparan petir di siang bolong. Bisa jadi pengawal atau pecintanya langsung mengusir. Menistakan kehidupan si penanya yang dirasa kurang ajar.
Padahal sebagai Amirul Mukminin, Khalifah, Qiyadah. Tentu semua menganggap wajar, bila ia mendapatkan lebih bukan?
Alih-alih emosi. Umar memilih mengarahkan pandangannya kepada jamaah yang hadir. Ia mencari-cari sesosok lelaki yang bisa memberikan kesaksian tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak langsung menjawabnya sendiri meskipun itu bisa dilakukannya dan takkan ada orang yang menuduhnya berdusta.
Ketika pandangan Umar mengarah kepada seorang ulama muda yang bersahaja, ia memberikan isyarat. “Bangunlah, wahai Abdullah,” kata Umar.
Pemuda itu pun berdiri. Ia tak lain adalah putranya sendiri, Abdullah bin Umar.
“Bukankah engkau yang memberikan baju yang kupakai ini?” tanya sang Amirul Mukminin.
“Benar,” jawab Ibnu Umar.
Ada perubahan raut muka pada lelaki yang memprotes Umar tadi. Ia dan seluruh jamaah kini mengetahui bahwa kain bagian jatah Abdullah bin Umar telah diberikan kepada sang ayah yang berbadan besar agar mencukupi. Wajar jika Abdullah bin Umar tidak mengenakan pakaian baru.
“Sekarang kami mendengar dan mentaatimu,” kata lelaki itu kemudian duduk dengan tenang menyimak kelanjutan taujih Umar bin Khatthab.
***
Berada di posisi puncak satu jabatan, sering disikapi sebagai bagian kemuliaan diri dan anugerah Ilahi. Ada yang menangisi sekadar keterpuraan bahwa dirinya ikhlas dan tak punya syahwat jabatan. Ada yang tegar berbinar, bahwa jabatan yang diemban bagian dari tugas 'izzul Islam wal Muslimin. Ada pula yang sekadar kebanggaan, di tengah sepi prestasi dan aktualisasi diri.
Sikap yang pertama dan ketiga, ia memosisikan diri sebagai asy-syakhs almuqaddas (pribadi yang disucikan), terbebas dari kritik dan suara kritis. Ia jadikan organisasi, negara, lembaga yang ia pimpin sebagai personifikasi dirinya.
Jangan harap ia akan memilih peran Umar di atas. Jangan pula menuntut ia akan mengendap mencari kabar rakyat dan kader jamaahnya dalam keheningan malam. Jangan meminta ia sekedar terbuka mendengar masukan. Sebab ia baru sampai pada mukaddimah taujih Umar bin Khatthab, "Kalian wajib mendengar dan taat." TITIK.
Bila Qiyadah Tak Ditaati, Belajar dari Umar
Reviewed by Unknown
on
05.41.00
Rating: