Imam dan Ketaatan (Menyikapi Pemecatan Fahri) Oleh: Kyai Maemun Fauzi
Imam dan Ketaatan
(Menyikapi Pemecatan Fahri)
Oleh Kyai Maemun Fauzi*
Sebenarnya pemimpin dalam Islam itu bukan pada person. Bukan orang perorang. Pemimpin dalam Islam itu letaknya pada konstitusi. Pada aturan main.
Di dalam bahasa Arab, pemimpin diidentikan dengan kata 'imam'. Dan Al-Quran sebagai konstitusi tertinggi adalah imam kita. Pertanyaan kelak didalam kuburpun ditanyanya dengan kalimat; "Wa ma imamuka". Jawabnya "Al-Quranu imami".
Begitu juga dalam Do'a yang tersitir dalam Hadits Bukhori, hadits yang ke-263 Bab Ahadiyyatu Wal Al-Bayan. Disebut lengkapnya adalah; "Roditubillahi robba wabil islami diina wabi muhammadin nabiya warasula wabil qurani imama...(Al-Hadits).
Ada kata "wabil qurani imama". Artinya; "Dan aku rela Al-Quran menjadi pemimpinku". Hadits ini juga ada dalam Kitab Turmudzi dan Sunan Abi Daud. Lihat Sunan Abi Daud Jilid 4, Bab Ma ja Bihin Nabi.
Bahkan Nabi Muhammad sendiri bukan pemimpin. Hanya karena Nabi sosok dan akhlaknya adalah Al-Qur'an, atau istilah Sayyid Qutb dalam bukunya "Fii Dzilalil Qur'an" disebut "Al-Quranul Hayah", maka beliau layak disebut pula imam.
Imam selanjutnya adalah sosok manusia biasa. Dia bisa salah dan dia bisa luput. Dan aturan dalam islam jelas. "Laa thoata limakhluqin fi ma'syiyatillah". Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiyat kepada Allah. Tidak ada ketaatan mutlak pada pemimpin jika dia menyalahi aturan Allah.
Dan aturan Allah salah satu bentuknya adalah konstitusi yang kita sepakati. Dalam konteks organisasi adalah AD/ART. Jadi kalau ada pemimpin menyalahi AD/ART organisasi, maka layak untuk kita nasihati.
Bukankah kita senantiasa sehabis baca Al-Quran selalu berdoa; "waj'alhuli imamam wanurun wahudan warohmah". Kalau kita saja senatiasa ingin agar aturan Al-Quran menjadi dasar hidup kita dan seterusnya, maka dalam arti yang lebih luas, kita taati juga AD/ART dalam sikap organisasi kita.
Terkait ketsiqohan dan ketaatan, maka mari kita letakkan rasa tsiqoh dan taat kita dalam bingkai AD/ART. Kalau qiyadah (pemimpin) kita ada sikap yang kurang pas, kita bisa memberi 'tausyiah'.
Dalam konteks permasalahan DPP PKS yang memecat Fahri Hamzah, Qiyadah di PKS harus punya hati yang lapang. Jangan tipis telinga. Jika ada yang memberi masukan harus terima dengan lapang.
Kalau ternyata pemecatannya tidak sesuai AD/ART partai, mestinya dicabut keputusan tersebut. Jika tidak mau mencabut, harus legowo jika diuji keputusannya lewat pengadilan.
*Penulis Lulusan Program Doktoral di Institut Fertigungtechnik und Werkzeugmachinen, Leibniz Universitat Hannover, Jerman. Berproses di Pondok Pesantren Gedongan, Pangenan, Cirebon.
Imam dan Ketaatan (Menyikapi Pemecatan Fahri) Oleh: Kyai Maemun Fauzi
Reviewed by Unknown
on
12.29.00
Rating: